Teriak pada Langit
Teriak Pada Langit
4 Agustus 2018
Beberapa waktu lalu, ku bermain di beberapa arena permainan, Histeria, Ontang-Anting, Niagara, Rajawali, dan apa-apa yang membebaskanku untuk berteriak sekuat-kuatnya. Awalnya jeritanku hanya terdengar sebab takut, lalu setelahnya takutku lenyap, tergantikan oleh bulir air mata. Seakan memaki pada langit, aku menjerit marah , "Kenapa... Engkau ambil dia... Aku merindukannya, kenapa harus aku yang kehilangannya, kenapa bukan orang lain." Seakan ku diberikan kesempatan untuk berbuat dosa, teriakku jadi satu dengan kepedihan hati orang-orang yang kehilangan.
Saat orang lain sibuk menikmati degupan jantung rasa terbanting dari bawah ke atas, dari atas kebawah, aku malah mencabik luka, semakin dekat ku dengan langit, semakin sakit hatiku, semakin ku ingin berbuat hina, berteriak menantang Tuhan Yang Maha Punya. Kembali, seakan-akan aku punya waktu berbincang denganNya, "Ya Rabb, aku masih membutuhkannya, aku masih ingin mencium pipinya, menggenggam tangan dan pundaknya, membelikannya makanan yang ia sukai, membelikannya tas yang dulu ia pegang erat namun tak mampu membayar, mengatakan maaf... beribu alasan dunia yang kujadikan sebab tak datang padanya di saat terakhirnya. Kenapa Engkau ambil dia dari kehidupanku ?"
Bukan kehilangan yang begitu menyakitiku, tapi kebodohanku yang tak kukuh untuk datang kepadanya. Saat hujan ia payungi, saat sakit ia suapi, saat marah ia usap kepala ini, tapi saat ia sakit di terakhir kalinya, kerja menjadi alasan paling bodoh yang pernah aku miliki. Berulang kali memaki diriku pun tak mampu menyembuhkan luka. Aku kehilangannya dan kehilangan diriku sendiri. Aku ingin kembali, pada masa lalu.
Puasku menantang Yang Maha, aku dihempas kembali kebawah, bumi daratan realita. Langit maafkan aku, kutinggalkan kesakitanku padamu disana. Sekarang, ku ingin senyum dan tawa kembali. Jika nanti ku perlu, ku jemput lagi lukaku dari mu bila sudah benar-benar sembuh dan senyumku tak lagi palsu.
Peluk hangat dariku disini ching ({})
BalasHapus❤
Hapus