Jakarta

Gang Buntu Cassablanca


       Kenangan membawaku kembali pada sebuah anak sungai, sub-tulisan. Tentang sepetak jalan yang menjadi saksi dari senyapnya kerinduan. Mengusik langit yang kadang mendung kadang gelap. Di perempatan jalan, ambil lurus tanpa melirik ke kiri dan ke kanan. Pernah singgah dikios yang menjadi gardu penyambut jalan, bertukar sabun mandi atau susu kaleng dengan lembaran kertas yang diberi nilai. Semakin banyak angka kosong semakin banyak barang yang bisa ditukar. 
        
        Dipertengahan pernah jua mengusik penjual nasi goreng dengan seceplok telur setengah matang. Pemenuh perut yang kadang tak punya pilihan. Jika si penjual nasi goreng enggan, maka aku perlu berputar balik dan ambil jalan kiri. Sebuah warung tegal yang menyajikan simbol lumayan. Lumayan banyak, lumayan enak, dan yang paling utama di kehidupan perkotaan, yaitu... lumayan murah. Setelahnya, kembali menyusuri jalanan pemecut rindu. 
  
       Sering kudongakkan wajah, menghadap langit, bertanya kabar pada dia yang lebih jauh dari bintang, tak terlihat. Sendiri membuat hatiku melemah. Untung ada sekotak kamar yang penuh dengan kenyamanan, selain panasnya yang berhembus masuk dan keluar. Bentangan kain berwarna merah jambu menarikku bagai magnet. Menenggelamkan ku bersama keletihan delapan jam lalu. Oh Jakarta kota yang indah, jakarta kota yang pilu. Di Jakarta, aku gantungkan mimpi yang bukan mimpiku. Gang buntu, pernah jadi tempat singgah dan menepi bagiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu

Doaku atau doa Ibuku ?

Atok