Rumus Memecahkan Persoalan Hati
by. R.A.
“Segala pertanyaan dibumi pasti selalu ada jawabnya, dan jika pertanyaan itu sudah begitu mengganggu hati dan pikiran mu, maka satu satunya jalan adalah mencari jawaban.”
Empat tahun lalu, aku berkutat pada perasaan kagum yang kupendam begitu lama. Pada seseorang yang mengenalkan ku lebih dalam pada kasih sayang Allah SWT. yg sebelumnya hanya ada dipermukaan. Aku mengaguminya sejak awal bertemu. Sungguh, hati ini memang terlalu mudah terbawa perasaan.
Wajahnya yang teduh, suaranya yang menenangkan, dan keberadaannya yang selalu mendamaikan, membuat namanya tidak henti kusebut disepertiga malamku. Diam” terlalu berani ku berharap, aku akan layak berada disampingnya dalam mengarungi kehidupan. Meskipun aku tahu, sulit bagiku untuk mampu. Kedudukannya sudah terlalu jauh dibanding langkahku berdiri, bagaikan jarak antara masing-masing sudut bumi, mustahil.
Tapi, dasar aku si keras kepala. Diam-diam aku ingin selalu sejajar dengannya. Maka, kucoba segala cara dengan sembunyi-sembunyi. Perjalanan memantaskan diri, bukan untuk Tuhan, tapi untuk ciptaanNya. Ironi. Mungkin itu bisik Allah SWT. pada malaikat-malaikatNya saat melihatku.
Hingga waktu berjalan dari tahun ke tahun, dan tibalah aku menamatkan studi sarjana ku lebih dulu daripadanya. Ia masih berputar-putar di alam semestaku. Tapi, begitula jalan jika dua orang memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Teringatku pada masa wisuda dulu. Kupikir, aku akan bertemu dengannya untuk terakhir kalinya.
Saat itu, dari pagi hingga petang mata kami tak kunjung bertaut. Qodarullah disaat foto bersama, aku harus menemani Ibuku yang sedang sendiri selagi menunggu Ayah menunaikan ibadah sholatnya. Tidak mungkin kutinggalkan Ibu, yang memaksakan diri untuk datang selang tiga hari setelah lambungnya dijahit. Sampai akhirnya, untuk di waktu yg terakhir, aku tetap tidak berada dalam satu frame dengannya. Seseorang yang namanya kujaga selama empat setengah tahun didalam hatiku.
Hingga setelah usai acara wisuda, aku berjalan bergandengan dengan teman perempuanku, berkeliling lapangan. Berharap, dia masih duduk diantara rintik-rintik hujan. Tapi tidak… bumi kami sedari awal memang sudah berlawanan. Hingga akhirnya aku pulang, dan kudapati kabar, bahwa saat berfoto bersama tadi, ia ternyata sibuk mencariku untuk bergabung bersama dalam satu foto. Perasaan sedih dan kecewa mengalahkan rasa bahagia yang kuterima karena gelar sarjana ku. “Padahal ini hari terakhirku di Jatinangor.” bisikku dalam hati.
Kisah itu kemudian kututup
setengah dengan sendu, hingga dua tahun setelahnya, foto pernikahannya
tergambar di galeri handphone ku. Kupikir, hatiku memang tidak layak diberi
kepada seseorang yang mengagumkan sepertinya. Selesai ujarku, aku sudah keluar dari alam semestamu, atau mungkin aku memang tidak pernah masuk ke dunia mu.
Lalu waktu berjalan… Pekerjaan yang sulit kuikuti, wafatnya Ibu disaat aku jauh, dan kesendirianku menyusuri gang kecil Jakarta, merantau ke Pekanbaru, hingga batalnya sebuah perjodohan ternyata sudah membuatku lupa tentang menaruh sandaran hati lagi. Hah, ternyata sudah jauh aku melalangbuana, meski masih belum sejauh sahabat-sahabatku lainnya.
Hingga akhirnya sekian interaksi dengan teman lamaku membuat hati kembali merasakan sesuatu yg dulu sibuk aku tebak. Hati kembali bermasalah. Pikiranku tidak tenang karena khawatir aku melewatkan sesuatu. Dia yang dulu pernah singgah dihati, namun tak mampu aku sampaikan karena teman ke teman tergambar bagai sebuah pengkhianatan. Tapi ia kembali dengan pesan singkat yang penuh canda membuat aku yang selalu ingin tahu menjadi manusia yang lebih sangat ingin tahu. Apakah hati ini layak berharap atau tidak.
Namun setelah kuselami lagi hati ini, aku ingin menjadi wanita yang benar-benar mencintai Allah dengan ridho, sebagaimana Allah ridho dengan aku sebagai hambaNya. Aku tidak ingin menghancurkan segala ikhtiarku untuk menjadi hamba terbaikNya hanya karena perasaan yang harusnya tidak boleh dipupuk lebih lama dengan cara yang salah.
~ Pengalaman membawa keberanian ~
Perasaan itu menggangguku dari hari ke hari, membuat ku terus menebak-nebak perasaan seseorang dan itu menjadi sangat melelahkan. Jadi, kupikir itu adalah suatu masalah yang harus diselesaikan. Pertanyaan yang harus terjawab, entah apapun jawabannya terserah. Yang penting aku tidak lagi perlu lelah bermain kuis tebak-tebakan. Dan… entah keberanian dari mana, aku menyatakan perasaanku padanya, namun tidak bermaksud untuk memaksa perasaannya. Aku hanya ingin tahu jawaban seperti apa yang ia akan berikan padaku. Apapun itu tidak masalah, yang penting nantinya aku yakin akan langkah apa yg harus diambil selanjutnya. Meski dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tahu apa keinginan hati ini sebenarnya.
Setelah ku sampaikan perasaanku padanya. Sedikit rancu tapi pada akhirnya aku mendapatkan sebuah jawaban. Mungkin inilah saatnya bagiku, untuk melepas semua keliru bahwa aku memang terlalu mudah menaruh hati. Mendengar jawabannya aku tahu, semua hanya sekadar saja. Tidak kurang tidak lebih meski mungkin ia masih bersikap sangat baik agar tidak memberikan jawaban yang sangat menyakitkan hati. Sedih tentu. Tapi bagiku, jawaban yg kumau sudah kudapatkan. Dihari itu, aku menyembuhkan hatiku. Dan esoknya, kelegaan yang luar biasa menghantam dadaku. Bangga. Ya Allah, aku tidak tahu jawaban apa yg akan Engkau beri atas doa-doaku selama ini, namun aku harap Engkau tahu ya Allah, caraku ini akan semakin mendekatkan ku pada JannahMu.
Lega karena pada akhirnya aku bisa melepaskan diri dan nantinya akan mudah melangkahkan kakiku. Tidak perlu memaksakan namanya seorang dalam doa doa ku lagi, tidak perlu saling bercanda dan berkomunikasi sebagaimana aku sudah berhenti berkomunikasi dengan non mahrom lainnya. Aku ingin menjadi bagian dari wanita shalihah yang akan Rasulullah cari kelak di Yaumul Akhir. Dan juga aku benci perasaan menebak-nebak yang membuat pikiranku lelah. Dan ya, jiwaku dari dulu yang tidak suka untuk mengulang kedua kalinya, membantu ku mengeratkan lagi hati-hati yang patah. Kupikir, inilah akhirnya aku bisa melangkah maju dan tidak perlu lagi melihat kebelakang.
Temanku bilang aku terlalu berani. Hahaa… Aku akui, tapi tidak. Aku tidak mengatakan itu untuk memaksa jawaban iya darinya. Aku hanya ingin mengutamakan hati dan pikiranku dari segala macam gangguan. Dan bukankah memang semua masalah harus berani untuk kita selesaikan ? Termasuk masalah hati. Jadi, daripada aku tersesat lebih baik aku bertanya. Agar aku bisa dengan pasti menentukan, jalan mana yang harus aku lalui. Menyenangkan melihat diriku sendiri yang tidak akan menyesali segala pilihan dan keputusan nanti untuk masa depanku sendiri…
Tapi ya Allah, diam diam aku masih penasaran
Lantas dimana sebenarnya hati yang tepat bagiku untuk berlabuh ?
Kalau boleh ya Allah, jangan biarkan ia tersesat terlalu lama.
Komentar
Posting Komentar